Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada
pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam
pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’,
artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya
rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik
merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan
(taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah
itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung
dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara
menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan
kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang
dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin,
mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai
rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
- "Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan
umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya
menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang
beraqidahkan sekularisme,
baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah
politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang
dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para
politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat,
sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat
memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti
itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang
shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa
politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham
akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung
dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu
daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi
sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan
Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk
kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad
Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar